BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’arrudul
adillah, Tarjih, nasikh dan mansukh
1. Ta’arrudul
adillah
Kata ta’rud, secara
etimologis berarti pertentangan, sedangkan al’adillah adalah bentuk
jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Secara terminologi, para ulama
memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’rud al-adillah,
diantaranya:
a. Imam
Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap
satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum
tersebut.”
b.
Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya
ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak
mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
d.
Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan
“Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Maksud dari satu derajat adalah antara ayat dengan
ayat atau antara surat dengan surat. Seperti dalam masalah riba’. Rasulullah
SAW. Bersabda:
لاَ رِبًا اِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
Artinya : “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah
(riba yang muncul dari utang piutang).”
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di
atas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba nasi’ah,
padahal ada hadis lainnya tentang larangan melakukan riba fadl, seperti
diterangkan dalam hadis:
لاَ تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ
اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ.
Artinya: “Jangan kamu jual gandum dengan gandum
kecuali dalam jumlah yang sama.”
(H.R.
Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hambal)
Hadis yang pertama membolehkan riba fadl dan
hadis kedua mengharamkannya. Wahbah Al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan
antara dua dalil atau dua hukum yang terkandung dalam dua buah dalil bergantung
pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami, menganalisis,
serta sejauh mana kekuatan logika mereka.
Imam Asy-syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara
dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada
dalil yang Qathi’ (dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil yang zhanni
(kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat.
Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka
diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya.
2. Tarjih
Tarjih secara etimologi, tarjih berarti
“menguatkan”. Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih
pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak
termasuk persoalan yang qath’i. juga tidak termasuk antara yang qath’I
dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih
(dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan)
tidak perlu diamalkan.
3. Nasikh dan mansukh
Nasikh yaitu Allah, karena dialah yang
membuat hukum dan dia pula yang membatalkan sesuai dengan kehendaknya.
Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan,
dihapuskan atau dipindahkan.
Makalah Taarrud Al-Adillah, Nasikh Mansukh Dan Tarjih
Makalah Taarrud Al-Adillah, Nasikh Mansukh Dan Tarjih
B. Macam-Macam Ta’arrud
Cara penyelesaian ta’rud al-adillah, yang
dikenal masyhur di kalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut
didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah.
1. Menurut
Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang
bertentangan adalah sebagai berikut:
a.
Nasakh adalah
membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang
kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak
sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih adalah
menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan
beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Untuk melakukan tarjih,
dapat dilihat dari tiga sisi:
-
Petunjuk
terhadap kandungan lafazh suatu nash. Misalnya menguatkan nash
yang hukumnya pasti (muhkam) dan tidak bisa dihapus, daripada nash yang
hukumnya pasti namun bisa diubah (mufassar)
-
Dari segi
kandungannya. Misalnya menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil
yang mengandung hukum boleh.
-
Dari segi
keadilan periwayatan suatu hadis.
b. Tarjih Apabila cara
pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni menguatkan
salah satu dalil.
c. Nasakh apabila cara
kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan cara ketiga,
atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam
kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang
pertama dan mana dalil yang datang kemudian.
d. Tatsaqut
al-dalilain cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid
apabila cara pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, yakni meninggalkan
kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah.
Keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan.
C. Cara dan
Syarat-Syarat Tarjih
Cara pen-tarjih-an
dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
1. Tarjih bain
an-nushush
a.
Dari segi
sanad
-
Menguatkan
salah satu nash dari segi sanadnya
-
Pen-tarjih-an
dengan melihat riwayat itu sendiri
-
Pen-tarjih-an
melalui cara menerima hadis dari rasul
b. Dari segi
matan
-
Teks yang
mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah.
-
Teks yang
mengandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan.
-
Makna
hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi-nya.
-
Dalil khusus
diutamakan daripada dalil umum.
-
Teks umum
yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum yang telah di-taksis.
-
Teks yang
sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
-
Teks yang muhkam
lebih diutamakan daripada teks yang mufassar.
-
Teks yang sharih
(jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindirian.
c. Dari Segi
Hukum atau Kandungan Hukum
-
Teks yang
mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
-
Teks yang
bersifat meniadakan lebih didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan
-
Teks
menghindarkan terpidana dari hukuman lebih diutamakan daripada teks yang lain
mewajibkan terpidana mendapat hukuman.
-
Teks yang
mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya
mengandung hukuman berat.
d. Tarjih
Menggunakan Faktor (dalil) Lain di luar Nash
-
Mendahulukan
salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain.
-
Mendahulukan
salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah.
-
Menguatkan
dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta
dalil yang mengandung asbab an-nuzul.
-
Mendahulukan
dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak
menuntut demikian.
-
Mendahulukan
dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada
dalil yang tidak demikian.
2. Tarjih bain
al-Aqyisah
a. Dari Segi
Hukum Ashl
-
Menguatkan qiyas
yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
-
Menguatkan qiyas
yang landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan
dalilnya nash.
-
Menguatkan qiyas
yang didukung dalil yang khusus.
-
Menguatkan
qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
-
Menguatkan qiyas
yang telah disepakati para ulama tidak akan di nasakh.
-
Menguatkan qiyas
yang hukum asalnya bersifat khusus.
b. Dari Segi
Hukum Cabang
-
Menguatkan
hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya
-
Menguatkan
hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang
hanya diketahui secara zhanni
-
Menguatkan
hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum
cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
c. Dari Segi
Illat
-
Dari segi
cara penetapan illat
-
Segi sifat illat
itu sendiri
d. Pen-tarjih-an
dari segi cara penetapan illat
-
Menguatkan illat
yang disebutkan dalam nash.
-
Menguatkan illat
yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian,
analisis, dan penilaian illat).
-
Menguatkan
illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang
ditetapkan melalui munasabah (keserasian).
e. Pen-tarjih-an
dari sifat illat
-
Menguatkan
illat yang bisa diukur daripada yang relatif.
-
Menguatkan illat
yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas
pada satu hukum saja.
-
Menguatkan illat
yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat
(penunjang).
-
Menguatkan illat
yang jelas melatarbelakangi suatu hukum.
f. Pen-tarjih-an
Qiyas Melalui Faktor Luar
-
Menguatkan qiyas
yang didukung lebih dari satu illat.
-
Menguatkan
qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat
-
Menguatkan illat
yang bisa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya berlaku
untuk sebagian furu’ saja.
-
Menguatkan qiyas
yang didukung lebih dari satu dalil.
Syarat-syarat tarjih
1. Dua dalil
tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya
dengan cara apapun.
2. Kedua dalil
yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
3. Ada petunjuk
yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara dua dalil dan meninggalkan
dalil yang satu lagi.
D. Rukun,
Syarat-syarat, dan Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi
kriteria berikut ini:
1. Pembatalan
itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah
dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus).
2. Yang
dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3. Nasikh harus datang
kemudian (terakhir) dari mansukh.
Rukun nasakh :
1. Adat an-nasakh,
yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh ,adalah dalil
yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
3. Mansukh, yaitu hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh
‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
Hikmah Nasakh adalah untuk memelihara kemaslahatan
umat baik di dunia maupun di akhirat.
Syarat-syarat
Nasakh
1. Syarat yang
disepakati:
a.
Yang
dibatalkan adalah hukum syara’
b. Pembatalan
itu datangnya dari khitbah (tuntutan) syara’.
c.
Pembatalan
hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana
yang ditunjukkan syara’ itu sendiri.
d. Tuntutan
syara’ yang menasakhkan itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang
dinasakhkan.
2. Syarat yang
diperselisihkan:
a. Hukum itu
tidak dinasakhkan, kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan
untuk melaksanakannya (ulama Mu’tazilah dan Hanafiyah).
b. Keluarga
Mu’tazilah dan Maturidiyyah, hukum yang dinasakhkan itu sesuatu yang
baik yang pembatalannya dapat diterima akal.
c. Sebagian
ulama ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus
ada penggantinya.
d. Sebagian
ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah, apabila yang dinasakhkan itu
adalah ayat al-Qur’an atau sunnah yang mutawatir, maka yang menasakhkan
juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya.
e. Imam
syafi’i, al-Qur’an tidak boleh dinasakhkan, kecuali dengan al-Qur’an dan
sunnah tidak boleh dinasakhkan dengan sunnah.
f. Jumhur ulama
yang membatalkan dan yang dibatalkan itu bukan qiyas.
g. Jumhur juga
mensyaratkan baik yang menasakhkan maupun yang dinasakhkan itu
bukan ijma’, karena apabila yang dinasakhkan ijma’ itu
adalah nash, maka hal itu tidak mungkin karena ijma’ baru dianggap sah
apabila tidak bertentangan dengan nash.
Macam-macam
Nasakh
1. Nasakh yang tidak
ada gantinya. Contoh pemberian sadaqah bagi seseorang yang hendak bertemu
dengan Rasulullah SAW.
2. Nasakh yang ada
penggantinya, adakalanya ringan dari yang dibatalkan. Contoh shalat 50 kali
menjadi 5 kali dan adakalanya lebih berat dari yang dibatalkan.
3. Nasakh bacaan (teks)
dari suatu ayat, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku, seperti hukum rajam
bagi orang tua, laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
4. Nasakh hukum ayat,
sedangkan bacaan/teksnya masih utuh seperti pembatalan hukum memberi sedekah
fakir miskin ketika hendak menemui Rasulullah.
5. Nasakh hukum bacaan
sekaligus, seperti sebuah riiwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ketika
ayat al-Qur’an masih turun, susuan yang mengharamkan untuk saling menikahi
antara orang yang menyusukan dengan orang yang disusui adalah sepuluh kali
susuan.
6. Terjadinya
penambahan hukum dari hukum pertama:
-
Apabila
hukum tambahan itu tidak terkait erat dengan hukum yang ditambah, maka tidak
dinamakan nasakh, seperti penambahan hukum kewajiban zakat pada
kewajiban shalat, karena kedua kewajiban itu berdiri sendiri-sendiri.
-
Apabila
hukum yang ditambah terkait erat dengan hukum yang ditambah, sehingga hukum
yang ditambahkan berubah, maka tambahan itu adalah nasakh, seperti
penambahan rakaat shalat, sehingga esensi shalat berubah.
-
Apabila
penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mengubah esensi hukum
semula, maka terjadi perbedaan pendapat. Contoh hukum dera bagi orang yang
menuduh orang lain berbuat zina, yaitu 80 kali dera ditambah 20 kali pukulan
lagi atau hukum buang bagi gadis yang melakukan zina ditambahkan pada hukuman
dera 100 kali. Menurut jumhur ulama penambahan seperti itu tidak dinamakan nasakh,
karena penambahan tidak membatalkan dan tidak mengubah hukum asal. Menurut
ulama Hanafiyah penambahan itu termasuk nasakh karena asalnya telah
diubah.
7. Terjadinya
pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan ulama sepakat
mengatakan ini adalah nasakh.
Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
1. Penjelasan
langsung dari Rasul.
2. Ada petunjuk
yang menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain. Contoh
sabda Rasul tentang ziarah kubur.
3. Periwayat
hadis secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadis yang bertentangan itu lebih
dahulu datangnya dari hadis yang lain, seperti ungkapan perawi hadis bahwa
hadis ini diungkapkan Rasul tahun sekian dari hadis ini pada tahun sekian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Bila ada suatu dalil yang
menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula
dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua
dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam
disebut ta’arudh.
2. Cara menyelesaikan ta’arudh
al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan dalil yang sudah ada dengan
didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda);
Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang
bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu mengkompromikan dalil-dalil
yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya; dan Tasaquth al-Dalilain,
yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan.
3. Tarjih ialah
menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana
yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.
4. Cara-cara mentarjih hadis yang
berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis,
dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu: Tarjih ditinjau dari segi sanad,
Tarjih ditinjau dari segi matan hadits, Tarjih ditinjau dari segi isi hadits
madlul, Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits.
5. Qawaidul Fiqhiyyah dapat
diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk mengistinbat
suatu hukum syara (fiqh).
6. Al-Qawa’id al-Khamsah adalah lima
buah kaidah yang oleh para ulama fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk
menetapkan kaidah-kaidah fiqih lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang
lingkup yang sangat luas terhadap hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung
dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah fikih yang ada.
7. Qawaidul fiqhiyyah yang umum
adalah kaidah-kaidah fikih yang yang cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu
fikih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah,
Muhammad. Ushul Fiqh. 2013. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Bakry,
Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh. 2003. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Syafe’I,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Djazuli, A.
2007. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
Rifa’i,
Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.